“Sulawesi Selatan saja, deal?”, itulah awal mula kesepakatan saya dan Brigita untuk menghabiskan liburan di Sulawesi Selatan. Sulawesi merupakan tempat yang cocok untuk dijadikan pilihan untuk berlibur, apalagi berlibur ala backpacker yang menggunakan budget minimum namun semua tempat dapat dijangkau. Tempat sasaran kami bukan merupakan tempat wisata yang ramai, namun tempat yang memiliki potensi alam serta kearifan lokal yang masih sepi dan jauh dari keramaian.
Propinsi Sulawesi Selatan sebagian besar terdiri atas pegunungan. Tidak heran jika terdapat lima puncak tertinggi yang sangat terkenal seperti Puncak Gunung Bawakaraeng, Puncak Rante Mario Latimojong, Puncak Gunung Balease, Puncak Gunung Sesean, dan Puncak Gunung Bambapuang. “Pantas saja di Sulawesi jalan daratnya masih kurang dan tidak ada kereta api”, kataku kepada Brigita.
Kota Bulukumba merupakan kota kecil yang berada di wilayah dari Kabupaten Bulukumba yang cukup luas. Kami memutuskan untuk ke daerah Bulukumba karena memiliki spot-spot yang menarik untuk dikunjungi, seperti pantai Tanjung Bira, desa Tana Beru tempat pembuatan perahu Pinisi, dan Desa Tana Towa dimana terdapat suku Kajang.
Untuk mencapai Kabupaten Bulukumba dari kota Makasar ditempuh sekitar kurang lebih 200 km. Jarak yang sangat jauh dengan melewati beberapa kabupaten seperti kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, dan Bantaeng. Estimasi waktu perjalanan sekitar 5 jam sehingga kami berangkat sekitar pukul 10 pagi. “Jangan sampai kalian lewat saat malam hari karena di sana masih banyak perampok yang membawa parang”, begitu peringatan dari bang Mula, senior dari Korpala Universitas Hasanudin. Kami yang ditemani oleh Arie, Enoz, Ade, dan Leon dari Korpala Unhas pergi menggunakan motor. Jalan yang tak kunjung habisnya melewati empat kabupaten terasa sangat panjang dan melelahkan. Apalagi jalanannya masih banyak yang berlubang, sempit, dan tidak rata. Truk-truk besar pun hilir mudik melewati jalanan sempit itu. Namun rasa bosan di perjalanan tergantikan dengan rasa kagum saat melihat langit biru di atas, pegunungan yang gagah berdiri di sebelah kiri, dan laut dengan gradasi hijau dan biru di sebelah kanan. Ketiga elemen langit, gunung, dan laut itu membentuk pemandangan yang harmonis untuk pengantar perjalanan.
Ternyata perjalanan kami molor hingga dua jam. Perjalanan yang seharusnya dapat tiba sekitar pukul tiga sore ternyata sampai pada pukul lima sore. Rencana awal untuk dapat menikmati sunset di Pantai Tanjung Bira pupus sudah. Namun dapat tergantikan oleh sunset di pantai yang berada di desa Tana Beru, pusat pengrajin perahu Pinisi di Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
Kami terkagum-kagum saat berjalan menyusuri desa tersebut. Di sinilah tempat dibuatnya perahu Pinisi yang gagah dan melegenda. Tidak heran jika sejak kecil kita diajarkan lagu “Nenek moyangku seorang pelaut” karena memang benar adanya. Perahu Pinisi dibuat oleh suku Bugis sejak berabad-abad yang lalu. Para pelaut jaman dahulu memanfaatkan layar yang tertiup angin untuk menggerakkan Pinisi serta sangat handal dalam ilmu navigasi dengan memanfaatkan rasi bintang. Sehingga tidak heran jika Pinisi dapat mencetak sejarah berkeliling dunia dengan kesederhanaannya itu. Di desa ini lah saya melihat masyarakat yang sebagian besar dari suku Bugis piawai dalam membuat perahu. Pengrajin kapal di desa Tana Beru membuat kapal dengan teknologi yang diturunkan secara turun temurun. Namun sayang sekali saat itu tidak ada perahu Pinisi yang sedang dibuat. Hal ini karena Pinisi dibuat jika ada pesanan saja. Harga Pinisi sangat mahal sekitar 3 miliar, sehingga tidak heran jika yang memesan biasanya berasal dari luar negeri.
Sore itu kami bertemu dengan salah seorang pengrajin yang kita panggil Pak Haji yang berusia 87 tahun. Pak Haji dulu saat muda telah menjelajah nusantara dengan perahu yang dia buat, bahkan hingga Jepang. Kita pun menikmati senja sore hari sambil bercengkrama dengan pak Haji yang bercerita mengenai kehebatan perahu Pinisi. “Pinisi itu sangat mahal karena menggunakan kayu besi dan tidak dipaku. Orang luar negeri yang membelinya tidak hanya menggunakan pinisi untuk berlayar, tapi menjadikannya sebagai rumah”, tutur pak Haji.
Sore itu sangat berkesan dengan kisah dari pak Haji mengenai kehebatan suku Bugis dengan perahu Pinisi yang gagah berani itu. Kabupaten Bulukumba mendapatkan sebutan Butta Panrita Lopi yang berarti bumi pembuat perahu Pinisi. Karena saat itu sedang tidak ada perahu Pinisi yang sedang dibuat, maka saya membeli sebuah miniatur dari perahu Pinisi sebagai buah tangan. Harganya yang kecil sekitar Rp 50.000,oo dan Brigita membeli yang besar sekitar Rp 120.000,oo. Melalui replica pinisi yang kecil ini dapat terbayang betapa hebatnya Pinisi yang asli jika di lautan.
Kami melanjutkan perjalanan sore itu menuju Tanjung Bira. Dari Desa Tana Beru menuju Tanjung Bira ditempuh sekitar 20 km. Jalanan menuju kesana sudah berwujud aspal namun memiliki lubang yang sangat banyak. Dudukpun menjadi tidak nyaman dan sangat pegal hasil perjalanan dari Makasar hari itu. Saat itu sudah menjelang maghrib dan jalanan sangat sepi. Kendaraan yang melintas sangat jarang dan dapat dihitung dengan jari. Namun perlahan terlihat laut beserta deru angin malam. Tiba juga kami di Tanjung Bira yang terkenal dengan pantai dan pasir putihnya. Hari sudah gelap dan tiba saatnya untuk beristirahat di penginapan sekitar pantai.
Keesokan harinya kami menikmati sunrise di pantai tanjung Bira. Pantai yang berada di Kecamatan Bonto Bahari ini memberikan aroma khas pantai dengan pasir putih yang terasa sangat lembut di kaki. Namun sayang pantai yang menjadi tempat wisata ini kurang bersih dengan banyaknya rumput laut yang terbawa ombak ke pantai. Warung-warung di tepi pantai pun kurang terawat. Matahari semakin tinggi, wisatawan lokal maupun manca berdatangan untuk bermain di sekitar pantai. Anak-anak kecil berlarian dan beberapa mencoba wahana banana boat. Karena kami berenam memiliki jiwa adventure yang tinggi dan kurang suka keramaian, kami pun mencoba untuk susur pantai di sekitar tanjung bira.
Kami menyusuri ke arah barat melewati karang-karang yang tajam. sesekali kami menginjakkan kaki di pantai, namun kami pun sering juga mendapati pantai yang habis dan tergantikan tebing karang. Sehingga mau tidak mau kami harus memanjat tebing tersebut. Cukup sakit memang, namun inilah pengorbanan untuk mendapatkan tempat yang masih sepi, indah, dan jauh dari keramaian. Sepanjang pantai ini terdiri atas tebing-tebing yang tinggi dan di bagian bawah terkikis oleh air laut sehingga banyak celah yang menjorong ke bagian dalam. Banyak sekali terdapat lubang di bawah tebing yang dapat dimasuki oleh orang dewasa. Tempat-tempat seperti ini jika di dalam teknik survival dapat dijadikan sebagai bivak alam yang terbuat dari batu. Enoz menemukan bulu babi yang berwarna cokelat. Selain itu ditemukan pula ubur-ubur di sekitar pantai. Sekitar 30 menit kami menyusuri pantai hingga akhirnya kami menemukan spot yang sangat indah. Tempat ini kami jadikan sebagai sisi pantai Tanjung Bira yang lain dan tidak kalah indah. Langit biru terpantul di lautan. Pasir putih terasa lembut terhempas oleh ombak yang menuju tebing. Tebing-tebing di pantai Bira sangat potensial untuk dijadikan panjat tebing. Tebingnya kokoh berdiri dan dari kemiringan 900 hingga 450. Tempat ini akan menjadi tempat yang indah bila dijadikan tempat untuk panjat tebing dengan nuansa pantai pasir putih dengan laut biru di sekitarnya.
Pesona Sulawesi Selatan tidak hanya dari sektor bahari saja. Terkenal pula suku Kajang yang berada di desa Tana Towa, Kabupaten Bulukumba. Kawan kami Arie yang berasal dari Sinjai tidak jauh dari Bulukumba mengatakan bahwa tidak sembarang orang dapat masuk ke dalam kawasan adat Tana Towa. Bahkan perizinannya bisa hingga tiga hari. Namun kami tetap berangkat menuju ke sana dengan niat baik melakukan kunjungan untuk lebih mengenal kearifan lokal dari suku Kajang. Perjalanan sekitar dua jam dari pantai Tanjung Bira untuk memasuki kawasan desa suku Kajang. Perjalanan menuju ke sana melewati jalanan aspal yang tidak terlalu lebar. Sesekali kami melewati perkebunan warga dan hutan adat. Terlihat pula kuda yang melintas. Warga desa ini sebagian besar memanfaatkan kuda sebagai transportasi untuk mebawa hasil bumi.
Kami tiba di kawasan desa Tana Towa dan singgah di rumah kepala desa. Untuk memasuki kawasan adat harus melakukan perizinan di kepala desa. Selain itu pengunjung harus menggunakan baju serba hitam untuk memasuki kawasan adat. Tidak heran jika dari tadi terlihat beberapa warga yang melintas menggunakan baju serba hitam. Menurut Ibu Sri Wahyuni, istri Kepala Desa, Suku Kajang ramah dan memiliki kepala adat yang disebut sebagai Ammatoa. “Pengunjung yang datang boleh mengambil gambar, namun dilarang untuk mengambil gambar dari Ammatoa”, ujarnya.
Kami siap untuk memasuki kawasan adat. Saat memasukinya, kami disambut oleh gerbang dan rumah adat suku Kajang. Kami ditemani oleh Eno, sepupu dari Kepala Desa Tana Towa dan sekaligus kerabat dari Ammatoa. Eno yang seumuran dengan kami dan kuliah di Universitas Hasanudin menjadi penerjemah Ammatoa, karena suku Kajang Dalam berbicara menggunakan bahasa Konjo, bahasa asli suku Kajang. Jalanan berbatu yang membelah hutan di kanan kiri kami susuri. Sesekali terlintas warga yang berbaju hitam dengan parang di sampingnya. Adapula warga yang menggunakan ikat kepala yang tinggi dimana menandakan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. 10 menit berjalan, kami disajikan pemandangan rumah-rumah adat yang bergaya rumah panggung dengan anak-anak kecil yang mengintip di balik jendela. Kuda-kuda berada di samping rumah seakan menjaga majikannya di dalam rumah.
Kami pun tiba di rumah Ammatoa, ini tandanya saatnya kami berhenti untuk mengambil gambar. Rumah Ammatoa berupa rumah panggung khas Kajang pada umumnya. Namun terdapat keistimewaan, yaitu dapur yang berada di depan rumah. Dapur di depan rumah ini mengandung makna bahwa keluarga Ammatoa akan dengan senang hati menjamu tamu yang datang. Kami menaiki rumah panggung tersebut dan memasukinya. Di dalam terlihat sangat gelap karena suku Kajang tidak menggunakan listrik dan teknologi yang berbau modern. Namun ruangan di atas rumah Ammatoa sangat luas. Terlihatlah Ammatoa yang tersenyum sembari duduk bersila di pojok ruangan. Degup jantung berdetak kencang saat saya disuruh untuk duduk di samping Ammatoa. Namun ternyata tidak seseram yang kubayangkan. Wajahnya ramah dan selalu tersenyum.
Beliau menceritakan asal usul suku Kajang di desa Tana Towa yang artinya Tanah Tua, tanah yang paling tua. Suku Kajang menganut agama Islam namun memiliki ajaran yang disebut ajaran Patuntung dimana menganut tiga pilar yaitu menghormati Tuhan, tanah pemberian Tuhan, dan nenek moyang. Ammatoa berkisah saat terpilihnya beliau menjadi kepala adat melalui proses yang sangat panjang. Tuhan Yang Maha Esa lah yang memilihnya. Calon Ammatoa pada saat itu berguguran satu per satu hingga terpilihnya Ammatoa yang sekarang. Suku Kajang hidup dalam peraturan adat sejak dulu hingga sekarang. Sebagian warganya hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam di hutan dan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak luput dalam menjaga kelestarian lingkungan. Hutan di sekitar kawasan adat dianggap sebagai ibu bagi mereka yang harus dihormati. Oleh karena itu warga yang melakukan pelanggaran adat seperti menebang pohon maupun mencuri hasil bumi akan diberikan sangsi adat, salah satunya berupa denda dalam real.Keharmonisan alam yang terwujud dari kearifan dari Kajang di desa Tana Towa memberikan inspirasi bagi kehidupan. Hitam yang melambangkan kesederhanaan merupakan representasi atas kukuhnya peraturan adat yang dapat memberikan keseimbangan alam dengan masyarakatnya.