Welcome to Aryadventure, moga-moga dapat meng-influence semangat Nature Lover di kehidupan kita. . !

Senin, 18 Juli 2011

Sebuah Asa dalam Pendakian

Banyak orang bertanya apa sebenarnya yang ingin didapatkan saat mendaki gunung? Apakah mendaki gunung hanya untuk mencapai puncak? Apakah mendaki gunung hanya dijadikan sebuah pembuktian kekuatan saja? Apakah mendaki gunung hanya untuk menancapkan bendera organisasi dan mengabadikannya dalam bentuk dokumentasi?
                Pengalamanku saat berkunjung ke tanah kabupaten Kerinci di sebuah daerah bernama Kayu Aro memiliki romansa tersendiri. Bersama keempat sahabatku saat itu ingin mencoba merasakan mendaki tanah tertinggi dari pulau Sumatera. Kerinci, 3805mdpl terlihat tinggi menjulang di depan mata. Pagi hari terlihat puncak Kerinci yang gagah terlihat jelas namun semakin siang dan sore puncak yang terlihat berasap itu tertutup oleh kabut hingga tidak tampak sedikit pun. Saat itu bulan Februari dimana kawasan tersebut berstatus waspada sejak bulan November 2010. Bahkan saat pagi hari terasa goncangan di daerah kawasan Kayu Aro. Pada saat malam hari di puncaknya juga terlihat percikan api yang langsung hilang di kelam malam.
                Hasrat ingin merasakan pendakian tanah tertinggi pulau Sumatera itu menggebu-gebu. Tapi ternyata takdir berkata lain. Perjuangan pendakian hanya dilanjutkan oleh satu orang saja dari kami. Bahkan saat itu tak kuasa airmata jatuh menetes. Dalam hati ini hal ini ibaratkan salah satu kegagalan terbesar dalam hidup. Perjalanan dari Jawa ke Sumatera berjarak ratusan kilometer, dan Kerinci sudah di depan mata namun saat itu memang bukan saatnya bagiku untuk mendaki. Sore hari itu terasa kekecewaan yang mendalam.
                Namun seiring pagi menjelang, kekecewaan pada malam hari itu berganti dengan semangat baru. Sebuah baju terbaik yang memang aku simpan yang tadinya aku pakai di puncak Kerinci aku ambil dari ransel. Baju yang terjahitkan namaku dan berbenderakan organisasi aku berikan kepada seorang sahabatku yang akan berjuang menapaki Kerinci. Ini memang menyalahi aturan organisasiku karena meminjamkan atribut organisasi kepada orang lain. Tapi saat itu aku hanya berfikir realistis, disisi lain, ini hanyalah baju terbersih yang kami punya dan ini sangat berguna jika di atas. Aku menghembuskan nafas dalam-dalam ketika kami berempat meninggalkan salah satu dari kami di tempat jauh tersebut dan dalam hati berdoa, semoga berhasil. Semakin kami meninggalkan tempat itu, semakin hilang pula kekecewaan yang kurasakan tadi malam.
                Memori Kerinci tersebut merupakan pelajaran berharga, dan aku dihadapkan untuk kedua kalinya di tanah tertinggi di Jawa Tengah, gunung Slamet. Gunung Slamet dengan segala ceritanya memiliki keistimewaan tersendiri bagiku. Hawa dingin Desa Blambangan dan asa untuk menapaki puncak bersama keenam temanku saat itu terasa hingga ubun-ubun. Langkah awal sangat berat dan semakin berat ketika tajuk pepohonan menutupi kita dari sinar matahari. Gelap dan kabut saat itu menghalangi pandangan meski saat itu masih di waktu siang. Bahkan medan saat itu benar-benar menanjak dan miring hampir 45 derajat tanpa henti. Aku hanya mengharapkan adanya tanah datar yang bisa dijadikan tempat berpijak yang normal tapi jarang sekali ada.
                Kulihat jauh di belakang salah seorang temanku terlihat lemas dan tidak seperti biasanya. Aku jabat tangannya dan memotivasi supaya bisa tiba di tempat istirahat. Hujan memperparah keadaan saat itu. Kita bertahan dari dinginnya air yang jatuh di balik jas hujan yang kita bawa. Dalam hati ini berharap, Tuhan berikan cerah, berikan sinar matahari di siang hari ini. Hujan berhenti dan kita lanjutkan perjalanan hingga akhirnya di pos tiga.
                Cermin yang sangat besar memantulkan peristiwa Kerinci yang pernah aku alami. Pos tiga adalah tanah tertinggi yang kita daki saat itu. Temanku saat itu dalam keadaan sakit dan benar-benar tidak bisa melanjutkan perjalanan. Aku adalah saksinya pada malam itu dalam berjuang menemaninya saat menahan sakit. Sekali lagi, puncak urung kucapai. Asa untuk mendokumentasikan diri menggunakan baju terbaik di puncak tertinggi Jawa Tengah tertunda. Betapa solidnya kami pada saat itu untuk memutuskan semua tim untuk turun dan membuang asa mengibarkan bendera di puncak. Tidak ada sesal pada saat itu. Sama seperti di Kerinci, semakin aku berbalik meninggalkan puncak, rasa penyesalan pun hilang. Seakan-akan langkahku saat itu semakin ringan. Aku pun menuruni sambil berlari dan melompat-lompat. Rasanya bahagia saat itu meskipun dua kali aku jatuh terguling. Wajah tertawa temanku saat mendapati aku terguling pada saat itu menghilangkan rasa sakit  yang ada.
                Semua itu terbukti tidak berlaku di dalam kamus pendakianku. Aku merasakan sendiri bahwa nikmat pendakian bukan di puncak. Puncak hanyalah hadiah dari sebuah kerja keras dalam mendaki. Susah payah, kerjasama, saling memotivasi itu yang terpenting dalam sebuah pendakian. Banyak esensi dan nilai-nilai yang dapat diambil dalam proses itu. Dua kali aku merasakan perasaan yang sama. Namun apa artinya puncak? Mengharapkan puncak hanyalah sebuah ambisi belaka, untuk melampiaskan obsesi dan untuk mengukur seberapa kuat kita, seberapa hebat kita, seberapa bisa kita. Padahal seharusnya kita harus merendahkan segala ego karena di tanah teratas tersebut kita semakin dekat dengan Pencipta yang jauh lebih kuat, lebih hebat, dan lebih besar daripada kita.

Minggu, 17 Juli 2011

Mengenal Masyarakat Pesisir di Pulau Panggang

Pulau Panggang, merupakan salah satu pulau yang berada di gugusan kepulauan Seribu. Namun biasanya pulau ini bukan merupakan tujuan utama para wisatawan yang datang ke kepulauan Seribu. Pulau Panggang tidak seperti pulau Tidung, Pulau Rambut, ataupun Pulau Semak Daun yang biasanya ramai dikunjungi untuk berwisata. Meski begitu Pulau Panggang memiliki suatu daya tarik yang berbeda dengan pulau lainnya di gugusan Kepulauan Seribu.
                Untuk menuju pulau di gugusan kepulauan seribu dapat dicapai menggunakan kapal. Kita dapat berangkat melalui pelabuhan Muara Angke atau dengan transportasi laut dari Marine Jaya Ancol. Kapal di Muara Angke yang berupa kapal ojek selalu berangkat pagi hari sekitar pukul 06.30 dan siang hari pukul 13.00. Sedangkan di Ancol juga pada pagi hari pukul 06.30 dan siang hari sekitar pukul 11.30. Namun jangan sampai terkecoh bahwasannya sesekali terdapat kapal siang di Muara Angke yang tidak melaut pada siang hari karena tidak ada penumpang. Jika hal ini terjadi maka kita mau tak mau harus menunda perjalanan keesokan hari pada saat pagi.
                Perjalanan pagi menuju pulau Panggang menggunakan kapal dari Marine Jaya Ancol bisa ditempuh dengan kapal cepat sekitar 1 jam 30 menit.  Tempat duduk yang tersedia memang cukup hanya untuk 15 orang saja. Maka tidak heran banyak peraturan yang harus dipatuhi jika menggunakan kapal ini di antaranya tidak boleh membawa barang berat, dan tidak boleh membawa benda yang berbau tajam. Hal ini mencegah rasa pusing akibat ombak laut yang cukup tinggi, dipadu dengan bantingan-bantingan badan kapal yang melaju kencang ke permukaan air laut. Tidak heran jika banyak penumpang yang berdiri untuk mengurangi rasa mual akibat bantingan dari badan kapal.
                Setelah melewati perjalanan sepanjang 74 km, tiba juga di pulau Pramuka. Pulau Pramuka yang dulunya bernama Pulau Elang ini merupakan pusat pemerintahan dari Kepulauan Seribu. Di sini juga terdapat kantor Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS). Pulau Pramuka ini cukup padat penduduk terlihat dengan banyak rumah. Rumah-rumah tersebut banyak yang dijadikan sebagai homestay untuk para wisatawan yang mengunjungi pulau Pramuka. Jalanan pun terlihat rapi dengan adanya papan jalan di setiap gangnya dan sangat terawat. Selain itu terdapat sekolah dasar, SMP, dan SMA yang memiliki gedung yang bagus. Adapula rumah sakit yang cukup besar dan dijadikan rumah sakit pusat di Kepulauan Seribu. Hal ini melihatkan kemajuan pembangunan di pulau Pramuka sangatlah maju akibat banyaknya pengabdian masyarakat untuk kesejahteraan di pulau Pramuka.
                Pulau Panggang terlihat dari Pulau Pramuka. Dari situ tampak atap-atap rumah yang sangat rapat dan menunjukkan betapa padatnya pulau Panggang. Untuk menuju kesana dapat dicapai 10 menit dengan kapal ojek yang melayani penyeberangan dari pulau Pramuka menuju pulau Panggang dengan biaya Rp 3000,oo tiap orangnya. Sebelum ke Pulau Panggang, kapal ojek mengantar salah satu penumpang ke pulau Karya. Pulau Karya ini merupakan pusat perkantoran dan administrasi. Namun penduduk sekitar juga sering menyebutnya sebagai pulau Makam, karena jika ada lelayu, maka jenazah akan dimakamkan di pulau ini.
                Kapal merapat di pulau Panggang, dan sesuai namanya matahari menyengat tajam seakan-akan memanggang kulit yang sudah kepanasan. Memang benar, rumah-rumah penduduk jauh lebih padat daripada pulau Pramuka. Orang-orang lalu lalang di siang hari yang sangat panas. Jalanan pun terasa sempit saat menuju rumah Bang Bayu, warga pulau Panggang yang akan membantu penginapan. Saat berjalan, terlihat seorang ibu yang berjualan kue basah sambil mendorong gerobaknya dan berjalan berkeliling pulau sambil berteriak kencang menawarkan kue tersebut. Kanan kiri juga terlihat warung-warung yang berjualan sayur mayur namun sudah layu karena kepanasan. Jalanan pun lumayan kotor banyak sampah yang berserakan. Namun hal ini kontras dengan berdirinya masjid yang lumayan besar dan terlihat bersih.
                Setiap kali berjalan tak lupa mengucapkan salam kepada warga sekitar. Ternyata mereka juga akan membalas dengan salam pula. Tidak ada wajah sombong dan angkuh dari masyarakat pesisir yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan. Tadinya ada slentingan bahwa masyarakat pesisir cenderung sering teriak-teriak sehingga dianggap kasar. Memang begitu adanya, logatnya berbeda dengan masyarakat jakarta, namun tidak termasuk kasar. Karena rumah mereka sangat berdekatan, maka tidak heran jika mereka kenal satu sama lain. Di masyarakat pulau ini terdapat suatu budaya pernikahan. Dalam pernikahan masyarakat pulau selalu dirayakan dengan alunan musik dangdut semalam suntuk. Bahkan pada pagi hari terdapat pengantin wanita yang diarak keliling kampung dan dibimbing oleh dua orang ibu-ibu sebagai sanak familinya. Pengantin wanita itu terharu saat diarak  hingga meneteskan air mata. “Iya, pengantinnya sudah tidak memiliki ayah. Ayahnya baru saja meninggal”, begitu kata salah seorang warga.
                Masyarakat Pulau Panggang yang sebagian besar menjadi nelayan ini memiliki karamba ikan di laut. Mereka kebanyakan budidaya ikan kerapu yang berjenis kerapu bebek (Chromileptes altivelis). Kerapu bebek ini berwarna cokelat dengan bintik-bintik hitam yang menyebar di sekujur tubuhnya. Ada pula ikan kerapu lodi  (Plectomorphus leopardus) yang memiliki bintik berwarna biru terang. Ikan kerapu ini dibudidayakan dengan teknik jaring apung. Budidaya ini tergolong susah karena ikan akan mencapai ukuran besar dan siap dipasarkan dengan waktu yang tergolong lama, bahkan bisa satu tahun lebih. Maka tidak heran jika satu kilogram ikan kerapu memiliki harga sekitar Rp 350.000,oo. Budidaya ikan sampai saat ini mengalami kesulitan karena berbagai faktor. Di antaranya pencemaran air laut di sekitar pulau Panggang. Hasil penelitian memperlihatkan kadar nitrogen yang tinggi di perairan laut Kepulauan Seribu. Selain itu rawan pencurian ikan. Salah satu nelayan mengaku saat itu terdapat beberapa ikan hilang akibat pencurian yang dilakukan pada malam hari. Hal ini sangat mengganggu dalam kegiatan budidaya.
                Bagaimanapun nelayan merupakan matapencaharian masyarakat pesisir pulau Panggang. Pulau dengan kepadatan penduduk yang semakin hari semakin meningkat. Namun inilah sebuah cerita mengenai pulau Panggang. Sebuah cerita tidak harus terus menerus mengenai keindahan. Namun sosialita dan lingkungan dapat pula dinikmati. Apalagi senyum ramah dari kulit gosong nan keriput dari seseorang merupakan memori yang selalu terpatri dalam ingatan.