Welcome to Aryadventure, moga-moga dapat meng-influence semangat Nature Lover di kehidupan kita. . !

Senin, 13 September 2010

Superheroes from a Little Village in North Seram

Aku ketiga dari kanan memakai baju biru muda
     
Daerah bagian Timur Indonesia identik dengan masyarakatnya yang berkulit gelap, kriting, berkumis, dan wajahnya mirip satu sama lain. Terkadang orang-orang kerap menganggap bahwa mereka itu tidak ramah dan kurang welcome dengan pengunjung yang datang ke daerahnya. Namun stereotip itu tidak terbukti dengan pengalamanku bersama teman dari Lawalata IPB saat melakukan Ekspedisi Manusela di daerah pulau Seram bagian Utara, tepatnya di dusun Masihulan.
Dalam ekspedisi kita di Seram Utara ini, kita mengenal seorang staf dari Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS Masihulan) yang bekerja sebagai dokter hewan untuk hewan-hewan yang sedang direhabilitasi di PRS tersebut. Kita sering memanggil dia om Vino. Lewat om Vino ini tim ekspedisi mendapatkan empat orang local guide yang akan mengarahkan kita selama studi. Om Vino mengenalkan kami kepada om Buce, om Sonny, om Piter, dan om Dores. Ada pula yang bernama om Pede yang nantinya menjadi teman kami di Masihulan. Selain itu om Vino juga mengenalkan kepada staf yang lain. Awalnya sangat sulit menghafalkan nama, apalagi wajah mereka sama semua. Berkulit gelap dengan kumis hitam yang tebal. Apalagi dari baju mereka terlihat otot-otot yang sangat kuat. Namun malam hari saat perkenalan tersebut terasa hangat karena ternyata mereka senang sekali bercanda. Beda skali dengan persepsi kita mengenai orang Timur yang temperamen dan menyeramkan. Mereka sama sekali tidak menganggap kami sebagai tamu, melainkan saudara dari jauh yang datang dan ingin belajar bersama mereka.

Bahkan selama kita di sana, kita dibuatkan gelang, kalung, dan busur panah. Aku pun mendapatkan gelang dari om Buce dan om Sonny, dan kalung dari buah gelici dan biji koti-koti buatan om Sonny. sampai sekarang benda itu aku pakai setiap hari. Bahkan kalau kuliah, teman-teman selalu bertanya dapat dari mana gelang dan kalung itu. Aku pun menjawab dengan bangga, " dari orang Maluku, om Sonny dan om Buce".
om Sonny
Om Piter
Om Dores

Om Buce


Ternyata terdapat ikatan darah di masyarakat dusun Masihulan. Kalau ditelusuri silsilah keluarga, mereka itu satu saudara. Hal ini aku sadari saat ayah dari om Dores meninggal dunia. Kata om Vino, yang meninggal itu bukan ayah kandung om Dores melainkan pamannya yang dianggap sebagai ayah. Om Pede yang pandai memasak itu juga menceritakan bahwa ia, om Buce, om Sonny, om Dores, dan om Piter semua adalah saudara. Ia bercerita kalau mereka sejak kecil sudah bermain bersama di hutan, bermain tarsan-tarsanan dan berburu. Dari cerita om Pede, ternyata mereka sudah menjadi jagoan cilik sejak kecil. Pantas saja sekarang dengan umur mereka yang 30an, mereka sudah tidak lagi jagoan melainkan Superhero. Lihat saja om Buce yang ahli di luar kepala tentang semua burung di sana. Om Piter juga yang gila panjat pohon, sampai-sampai saat itu dia menaiki pohon setinggi 35 meter hanya menggunakan akar pohon yang menjuntai. Om Sonny yang dengan lincahnya memasuki hutan berbekal parang. Tidak lupa om Dores yang jika kita studi bersamanya selalu mendapatkan kakatua. Di samping itu ada pula om Pede yang dengan kebaikan hatinya selalu menghibur kita dengan nyanyian dan masakannya yang terkenal lezat.

Di Maluku terkenal dengan minuman keras yang bernama "sopi". Bukan hal yang tabu bagi mereka untuk meminum minuman keras ini. Sopi ini terbuat dari buah enau yang dimasak dan diambil uapnya. Uap itu dikumpulkan dan diproses hingga terkumpul menjadi Sopi. Di pulau Seram, Sopi yang terkenal berasal dari kota Waipia. Orang-orang sana mengakui bahwa sopi ini sangat keras. Bahkan separuh gelas sopi bisa langsung membuat teler. Oleh karena itu mereka sering meminum sopi dengan mencampurkannya ke cocacola, fanta, atau kopi untuk mengurangi kadar kerasnya. Masyarakat, terutama bapak-bapak kerap kali minum sopi saat malam hari setelah letih bekerja dari hutan. Meskipun sopi sangat akrab di sekitar warga Masihulan, mereka sangat menghormati kita sebagai pendatang yang beragama muslim. Mereka tidak menawari kami untuk minum sopi. Kami pun malah ikut senang mendengarkan cerita-cerita lucu mereka tentang sopi.  Suatu malam saat berjalan-jalan di kampung Masihulan yang gelap (karena tidak ada listrik), kami bersama om Buce melewati rumah om Sonny. Om Buce memanggil-manggil om Sonny dengan nada riang. Dari jauh sudah terlihat siluet badan om Sonny yang bersandar di pintu namun terlihat tidak merespon panggilannya. Tiba-tiba datanglah om Sem (guru TK di Masihulan) yang berjalan meliuk-liuk. Saat itu aku berfikir, "ngapain om Sem malem-malem nari cakalele?". Sesaat aku tertawa dan tersadar bahwa ternyata mereka sedang tak sadarkan diri karena minum sopi. Aku pun menertawai mereka ternyata kaya gini ya kalo mereka itu sedang mabuk....hehehehe..


Ga disangka ternyata mereka semua jago menyanyi. Sebenarnya aku sudah tau kalau daerah Timur Indonesia itu gudangnya penyanyi. Tapi aku hampir ga percaya kalau om-om Masihulan ini suaranya keren. Saat itu malam hari, om Buce dan om Pede datang ke tempat kami tidur. Kita bercanda dan bercerita dengan atmosfer kekeluargaan yang hangat sekali. Awalnya kita hanya bercanda memberi tantangan kepada mereka untuk bernyanyi. Pasalnya suara om Pede kan kecil bahkan seperti suara cewek. Begitu pula suara om Buce yang seperti lehernya dicekek setan. Kita berfikir pasti lucu kalau mereka bernyanyi. Tapi siapa disangka saat mereka bernyanyi.. waaaawww.. sumpah bikin merinding. Gila bagus banget menyanyikan lagu "ayah" (ciptaan mereka sendiri) dengan bermain dua suara. Kita dalam hati benar-benar malu sendiri mendapati mereka menang dalam tantangan iseng kita. Kita yang tidak punya basic menyanyi pun diem aja, malu, dan hanya mampu terpesona mendengar suara merdu mereka. skak mat deh.


Saat hari terakhir kita di Masihulan datang pula om Piter , om Sonny, dan om Jemy. Mereka sepertinya ingin menghabiskan malam terakhir kita di Masihulan meskipun kami tau bahwa mereka habis minum sopi. Om Piter matanya merah, om Sonny matanya melihat ke luar (sesaat kita melihat om Sonny nangis =P). Tapi kita melihat usaha mereka untuk terlihat sadar dan normal di depan kami. Kami sangat menghargai itu. Seperti malam sebelumnya, kita bercengkrama sambil bercanda. Malam itu makin bernyawa dengan gitar yang dibawa om Sonny. Kemarin om Sonny sempat bercerita bahwa ia dulunya adalah jawara pop singer di Seram. Ternyata memang terbukti saat dia menyanyi suaranya keren, lembut, melankolis, dan khas maluku. Begitu pula om Piter. Dengan setengah sadar dia tetap memukau kami dengan suaranya yang tinggi itu. Kita? terulang lagi hanya bisa diam, malu, dan terpesona melihat mereka bernyanyi. Tapi sayangnya ya... yang dinyanyiin ama mereka tuh lagu - lagu Maluku yang kita tidak tahu. Entah yang ada "beta", "katong", "ale", , , ,
Lucu lah pokoknya.

Melihat latar belakangnya, mereka dulunya adalah pemburu burung-burung di kawasan Seram. Seperti Kakatua Seram, Perkici, Nuri, Betet, Rangkong, dan burung-burung yang hampir punah. Mereka dulu juga menangkap hewan lucu seperti Kus-kus. Mereka mulai menangkap sejak tingkat SMP dan semakin dewasa mereka semakin ahli bahkan menjual burung hasil tangkapan mereka. Namun sejak adanya PRS Masihulan sebagai tempat rehabilitasi satwa, mereka pun seakan-akan "tobat". Dengan berbekal pengabdian dan kecintaannya terhadap burung, mereka menjadi penyayang burung dan motivator untuk melestarikan satwa-satwa endemik yang hampir punah itu. Hal ini benar-benar membuat peningkatan pesat untuk populasi satwa endemik di sana. Sebagai contoh Burung Kakatua Seram yang saat itu sudah masuk ke status Appendix 4, sekarang sudah mulai stabil. Bahkan om Vino menyebutkan sudah ada 90 ekor Kakatua Seram yang ada di wilayah Seram Utara di antaranya adalah hasil lepasan dari PRS Masihulan. Hal ini tidak lepas dari peran serta om-om Masihulan seperti om Buce, om Dores, Om Piter, om Sonny, om Vino, om Pede, dan om-om lainnya. 

Rasanya rindu banget sama mereka. Di sana tidak ada akses komunikasi. Yang ada hanya telefon satelit di daerah Sawai, 3km dari Masihulan. Itu pun mahal sekali. Sampai sekarang bisa dibilang kita lose contact dengan mereka, kecuali dengan om Vino jika dia masih di Ambon. Entah kapan lagi bakal ketemu lagi dengan om-om yang jagoan itu. 3 tahunkah? 5 tahunkah? 10 tahunkah. who knows? Yang jelas kalo suatu saat aku kesana lagi, sudah pasti terdapat keriput di wajah mereka, rambut putih di kepala mereka, dan perubahan wilayah di Masihulan. Namun kenangan yang mereka persembahkan buat kita bener-bener jadi salah satu memori indah dari semua pengalaman hidupku.

Thanks for Superheroes from a Little Village in North Seram, Masihulan


Aryadventure: Tari Cakalele oleh Bocah Masihulan

Aryadventure: Tari Cakalele oleh Bocah Masihulan: "Dusun Masihulan, Pulau Seram bagian Utara memiliki tari tradisional, Cakalele. Tari Cakalele ini sarat akan kesederhanaan namun memiliki sem..."

Tari Cakalele oleh Bocah Masihulan

Dusun Masihulan, Pulau Seram bagian Utara memiliki tari tradisional, Cakalele. Tari Cakalele ini sarat akan kesederhanaan namun memiliki semangat tinggi dan dibawakan oleh bocah-bocah dusun Masihulan. Tari Cakalele yang berdurasi sekitar 10 menit ini dibawakan lima orang penari, satu orang penabuh tifa, dan satu lagi pembawa lagu dengan bahasa tanah setempat. Penari Cakalele menggunakan atribut kalung yang disilangkan di badan yang terbuat dari biji koti-koti. Mereka membawa pedang buatan dari kayu dan tobelo yaitu sejenis perisai.  



Jumlah lima ini menandakan pata lima. Sesuai dengan sejarahnya, tari Cakalele dipersembahkan sebagai tarian perang untuk menghormati tamu yang datang. Untuk dusun Masihulan sendiri memiliki aturan dalam penampilannya, tari Cakalele harus terdiri atas sembilan orang penari (pata siwa) atau lima orang penari (pata lima).
Anak-anak di dusun Masihulan dididik untuk lebih mencintai budaya di tanah asalnya salah satunya dengan membawakan tari Cakalele

Minggu, 12 September 2010

Feel the Piece of Nature in Gede


                                                                         Anggota tim :
Arya - Ponti
Dafi - Eupeung
Dafid - Sukiman
Alam - Alay
Ryan - Kobokan
Syaibach - BangkeUni - Rasang
Mila - Betet
Yana 1 - Lehi
Yana 2 - Risol
Nurmadiah - Bucil
Mima - Bolor



Perjalanan Mandiri. Bersama teman-teman MPCA Lawalata IPB yang saat itu masi berjumlah 12 orang, kita melaksanakan Perjalanan Mandiri ke gunung Gede.Kalo boleh dikata, Perjalanan Mandiri ini adalah kegiatan wajib yang harus dilakuin sama kita kita yang masih junior di Lawalata IPB.

Pengawasan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) ini cukup ketat. Sebelum pendakian, kita mengurus Simaksi sebagai tiket masuk kawasan TNGGP. Kita sempat singgah juga ke pos pertama dimana ada pengecekan ulang oleh petugas TNGGP. Kita sempet deg-degan juga waktu ditanya ada berapa mie instan yang kita bawa. Pasalnya kita tidak tahu persis ada berapa yang kita bawa. Petugas TNGGP tersebut mengatakan kalau saat sudah turun terdapat jumlah bungkus mie instan yang kurang dari yang telah dibawa sebelumnya, maka pendaki tersebut dapat hukuman untuk mengambil lagi bungkus mie instan yang tertinggal di atas. Yang jelas kita ga mau donk kejadian seperti itu menimpa kita. hoho..


Untuk mendaki ke gunung Gede bisa melewati tiga jalur, yaitu 
1. Jalur Gunung Putri
2. Jalur Cibodas
3. Jalur Selabintana

Kita memilih jalur Gunung Putri sebagai jalur pendakian sedangkan Jalur Cibodas kita pilih saat kita turun nanti. Prediksi waktunya untuk mendaki melewati Gunung Putri hingga tiba di alun-alun Suryakencana akan menghabiskan waktu selama 5 jam. Kita berangkat dari pos pengawasan sekitar pukul 21.00. Dengan mengandalkan lampu senter, kita dapat melihat bahwa awal pendakian melewati area perkebunan hortikultura milik warga. Awal pendakian tidak tanggung-tanggung langsung bermedan menanjak. Dilanjutkan dengan memasuki pepohonan yang semakin jarang. Udara dingin mulai menusuk. Angin juga berhembus cukup kencang dan kering bahkan menimbulkan suara gemuruh. Sempat waktu sedikit istirahat dan duduk tiba-tiba bulu kuduk berdiri karena suara angin tersebut seperti membawa badai dari kejauhan dan seakan-akan mendekat. Kita pun melanjutkan pendakian malam. Dengan berpijak pada akar-akar pohon yang menjalar dan berpegang batang pohon tua yang besar, kita mendaki pelan-pelan tapi pasti. Untungnya saat itu langit cerah dan sinar bulan membantu lampu senter kami untuk menerangi selama perjalanan. Tanah gunung Gede juga kering tidak becek berlumpur seperti gunung Salak. Cuma ya itu, memilih jalur Gunung Putri berarti rela melewati tanjakan-tanjakan yang cukup melelahkan. Semangat anggota tim sangat diperlukan untuk memompa motivasi. Apalagi Bolor, anggota tim MPCA kambuh maag nya. Sesaat minta berhenti untuk istirahat karena benar-benar tidak kuat. Ada pula Betet anggota yang lain terkadang kakinya kambuh sakit. Meskipun fisik terkadang tidak mampu untuk menjangkau waktu, namun semangat untuk maju ke atas tetap ada. Alun-alun Suryakencana tempat istirahat kita sebentar lagi sampai. Dan ternyata benar dengan ditandai area yang lebih lapang dan pohon-pohon besar berkurang tergantikan pohon-pohon kerdil milik Edelweis.
Keputusasaan yang tadinya melanda kini telah tiada. Rasa pegal dan dingin menusuk tulang sekarang menyerang tubuh yang lelah. Kita pun memutuskan istirahat di alun-alun Suryakencana, membangun bivak dari ponco, bikin api, memasak air untuk minuman hangat, dan bersiap untuk tidur. Cewek cowok campur ga peduli. Yang namanya pecinta alam semua saudara, udah ga kepikiran gue cewek dan lo cowok. Uda ga sempet mikir perkara kaya begono. Slamet dan sehat aja uda sukur kok. hehe...


Paginya, bbrrrr... udara dingin banggeeet..
Ini mah gilak, tidur udah empet-empetan satu sama lain, jaket uda dobel-dobel, pake sarung, saling pelukan, tetep aja dinginnya minta ampun. Apalagi angin dari ujung alun-alun sana dengan curangnya menerjang kita yang kedinginan kaya gini. Tapi mau ga mau kita harus bangun, sholat subuh, dan bersiap jalan ke puncak. Pagi itu kita cukup tercengang oleh keindahan panorama alun-alun Suryakencana. Matahari yang mulai naik dan menghangatkan badan membantu memberi cahaya keindahan padang edelweis yang luasnya konon 20 kali lapangan sepak bola. Bagus banget gilak, biar kita waktu kesana lagi ga musim berbunga tapi ga mengurangi keindahan lukisan Ilahi. Saking sakralnya bunga Edelweis di gunung Gede ini ada larangan bagi pendaki dilarang memetik bunga edelweis ini. Cukup mengabadikannya dalam bentuk gambar atau tulisan aja.

Perjalanan ke puncak diprediksi sekitar satu setengah jam dari camp kita. Tim melewati padang edelweis di Alun-alun Suryakencana sekitar dua kilometer. Sejauh mata memandang terlihat padang yang sangat luas. Di sisi kanan dan kiri terdapat punggungan berisi pepohonan nan hijau. Selain itu sepanjang jalan tetap diiringi ribuan pohon bunga edelweis. Untuk Summit Attack, kita harus meninggalkan padang rumput dan memasuki area pepohonan yang lebih rapat. Tanahnya pun cukup berbatu. Pepohonan dan bebatuan tempat kita berpijak juga ditumbuhi oleh lumut hijau yang tebal. Di perjalanan yang menanjak itu jika kita menengok ke belakang terlihat daratan tanah Sunda yang terhampar luas di bawah sana. Tidak seperti mendaki gunung lainnya, selama Summit Attack di gunung Gede tidak terasa lelah karena kita ditemani oleh tumbuhan dan panorama yang indah. Seakan-akan mereka berbisik kepada kita untuk terus semangat menuju puncak.

 


 








Ternyata benar, puncak gunung Gede kita raih. Untuk pertama kalinya aku tiba di puncak Gunung Gede yang memiliki jalur pendakian paling tua ini. Dari puncak dapat terlihat Gunung Pangrango sebagai saudara kembar Gunung Gede, kawah belerang, dan  daratan Jawa Barat. Daerah puncak Gede ini berkerikil dan sangat rawan terperosok ke bawah. Maka tidak heran jika terdapat palang sebagai pagar pembatas gunung ini.

Ahhh... menurutku emang Gunung Gede adalah salah satu gunung dengan panorama yang mantaabs. Ga nyesel cape-cape naik gunung ke Gede. Apalagi saat turun melewati jalur Cibodas terdapat objek-objek yang menarik seperti tanjakan setan, sumber air panas, dan air terjun Cibereum.

Pokoknya bagi yang ngaku adventurer, keindahan alami dari gunung Gede wajib dicoba.