Welcome to Aryadventure, moga-moga dapat meng-influence semangat Nature Lover di kehidupan kita. . !

Jumat, 10 Desember 2010

Iringan Kelebatan Putih Cacatua Moluccensis di Angkasa Pulau Ibu


                Hampir hilang sudah momentum melihat burung paruh bengkok seperti Kakatua Seram yang melintas di angkasa. Tentu saja burung Kakatua selama ini  hanya mampu terlihat di balik sangkar. Kelebat putih di sore hari diiringi suara paraunya yang memekakkan telinga merupakan euforia yang tiada tertandingi. Sekarang Kakatua Seram dapat bernafas lega di rumahnya, Pulau Seram, Maluku Tengah. 

                Pulau Seram bukan berarti pulau yang mengerikan.  Bahkan tidak heran jika Pulau Seram yang merupakan salah satu pulau besar di kepulauan maluku selain Pulau Halmahera dijuluki Pulau Ibu. Pulau Seram yang  jarang  terekspose ini bisa ditempuh menggunakan kapal cepat dari pelabuhan Tulehu di Ambon selama kurang lebih 2  jam saja. Layaknya daerah bagian timur Indonesia, Pulau Seram masih bertahan dengan virginitasnya yang menyimpan sejuta kekayaan flora fauna termasuk di dalamnya burung endemik.  Pulau Seram dengan senang hati menjadikan dirinya sebagai hunian yang nyaman bagi gerombolan burung-burung.
                Dengan berbekal SIMAKSI yang kita ajukan kepada Taman Nasional Manusela kita dapat melakukan studi Pelestarian Kakatua Seram di kawasan sekitar Taman Nasional Manusela di Pulau Seram. Untuk mengetahui penyebaran secara maksimal diambilah dua poin dari kawasan Pulau Seram yaitu Seram Utara di dusun Masihulan dan di Seram Selatan di Saonulu dan Piliana.
                Jalanan trans seram yang baru saja dibangun 3 tahun yang lalu selebar  5 meter  mengantar tim utara ke Seram Utara. Dengan diantar mobil polisi kehutanan, kita melewati jalanan lintas Seram yang dibangun membelah hutan Pulau Seram dan sebagian hutan milik Taman Nasional. Maka tidak heran jika kanan kiri jalan pemandangan pohon-pohon hutan seperti dan sesekali melewati tanah yang longsor. Jalanan sangat lengang dan hanya sesekali terdapat oto atau mobil dan motor yang berpapasan sambil mengklakson sebagai tanda salam. Telepon genggam sudah tidak berfungsi lagi karena jarak sekitar 3 km dari Masohi sudah tidak ada jaringan komunikasi lagi. Maka kita pun bersiap menjadi masyarakat primitif selama satu bulan.
                Setelah 3 jam perjalanan tibalah kita di Pusat Rehabilitasi Satwa di dusun Masihulan. PRS Masihulan yang dimiliki Yayasan Wallacea ini berkonsentrasi untuk menampung satwa yang bermasalah seperti bekas penangkapan liar. Sebagian satwa bermasalah di PRS Masihulan adalah burung paruh bengkok seperti Kakatua Seram, Kakatua Jambul Kuning, Nuri Kepala Hitam, Nuri Maluku, Bayan, Merpati, dll. PRS masihulan memiliki kandang dengan tiga kriteria yaitu quarantine untuk burung yang baru saja masuk tempat rehabilitasi. Dengan hanya berbekal pengabdian dan kecintaannya terhadap burung, staff pekerja PRS yang dulunya bekerja sebagai penangkap burung, sekarang merekalah yang merawat satwa yang berada di PRS.
                Nafas hidup burung-burung di Pulau Seram yang hampir punah ini tidak lepas berkat jasa PRS Masihulan yang merawat satwa bermasalah seperti bekas perburuan liar ataupun bekas peliharaan orang berada. Burung-burung yang jinak ini justru dibuat liar. Tidak jarang jika datang ke PRS Masihulan masih sering terdengar burung-burung yang bisa bahasa manusia. Inilah perilaku burung yang harus diubah menjadi lebih liar. Sudah banyak burung yang dilepasliarkan di alam bebas. Untuk kakatua Seram sudah dilepasliarkan di sekitar dusun Masihulan dan di Hutan Wai Putea. Namun muncullah suatu permasalahan yang amat disayangkan. Burung Kakatua Seram yang dilindungi undang-undang dan statusnya telah appendix I malah menjadi hama bagi masyarakat Masihulan. Pasalnya Kakatua Seram yang dilepasliarkan di sekitar dusun Masihulan ternyata beredar di sekitar kebun warga dan memakan hasil tanaman warga seperti durian, cokelat, matoa, kayu kulit buaya, dll. Sehingga pelepasliaran sekarang banyak dilakukan di hutan Waiputea jauh pemukiman masyarakat.
                Hadirnya PRS Masihulan sangat membantu meningkatkan populasi dari Kakatua Seram yang merupakan burung endemik dari Pulau Seram. Penurunan populasi akibat penangkapan liar dan illegal logging yang dilakukan masyarakat sekitar telah tertutupi dengan perawatan beserta pelepasliaran Kakatua Seram di habitatnya. Ini semua tidak jauh dengan peran serta dari mantan penangkap burung yang merupakan warga dusun Masihulan itu sendiri yang sekarang menjadi staf PRS Masihulan. Bagaikan manusia yang insaf, merekalah yang saat ini memberi makan burung, merawat, dan menjaga hingga burung-burung tersebut dapat dilepasliarkan.
                Kakatua Seram adalah burung endemik dari Pulau Seram yang memiliki habitat di ketinggian hingga 1000 mdpl. Waktu efektif pengamatan Kakatua Seram adalah di pagi hari sekitar pukul 07.00 – 09.00 dan pada sore hari pukul 16.00-18.00 dan pada cuaca yang cerah pula. Kebiasaan dari mereka dapat diprediksi dengan mudah. Akan dapat dengan mudah mendengar teriakan sumbangnya suara burung Kakatua Seram saat matahari sudah mulai panas sekitar pukul 07.00. Teriakan burung yang memiliki jambul merah muda ini yang menggema itu menandakan bahwa mereka bersiap mencari makan seperti biji kenari, durian dan matoa. Mereka akan keluar dari sarangnya yang berupa lubang di dan terbang melintas di ketinggian. Kelebatan putih akan keluar satu per satu dan berhenti di cabang pohon – pohon besar. Mereka akan bertengger sendiri atau bisa sampai satu pohon delapan ekor berjajar dengan rapi.  Kakatua Seram adalah burung yang bersih, dapat dilihat dengan kebiasaannya memotong ranting-ranting di sekitar pohon dia bertengger. Untuk menghabiskan waktunya, Kakatua Seram sering pula membersihkan bulu putihnya yang bersemi jingga dimana lebih tebal dibandingkan spesies kakatua lainnya. Menjelang siang, mereka akan tidur kembali dan beristirahat di tempat ia singgah. Aktivitaspun berubah jika tiba saatnya peralihan dari sore menjelang matahari terbenam. Persis seperti pagi hari, akan terdengar teriakan mereka dari jauh yang menandakan kembalinya Kakatua Seram menuju sarangnya. Kelebatan putih satu per satu akan terlihat di angkasa sambil berteriak parau dan keras.
                Empat sosok pria Maluku yang tangguh, Om Buce, Om Sonny, Om Piter, dan Om Dores dengan setia menemani kami dalam studi pelestarian kakatua . Dengan sigap dan di luar kepala ditunjuklah site-site dimana kakatua Seram berada. Kakatua Seram pertama terlihat di pagi hari dan berada di pohon matoa dan berjumlah dua ekor. Sosok hewan berbulu tebal berwarna putih semburat jingga itu terlihat di balik dedaunan dan bertengger dan sesekali membersihkan bulunya. Dalam waktu satu hari di pagi hari bisa mendapatkan Kakatua Seram selama penelitian rata-rata sebanyak 21 ekor. Pengulangan pengamatan birdwatching di sore hari bisa mendapatkan rata-rata 1 ekor. Rentang waktu pengamatan dua Minggu di kawasan sekitar dusun Masihulan didapatkan Kakatua sebanyak 22 ekor. Jumlah ini merupakan indikator bahwa Kakatua Seram sebagai burung yang dilindungi di  Seram Utara memiliki populasi yang semakin baik dibandingkan sebelumnya.      Habitat burung Kakatua Seram tidak lepas dengan hutan-hutan di sekitar Seram Utara yang masih virgin. Dengan teknik analisis vegetasi dan mengambil plot 20x20 di tempat kakatua ditemukan, kami mendapatkan data bahwa hutan di Seram utara ditumbuhi tumbuhan seperti pohon matoa, durian, cengkih, kayu besi, pohon kulit buaya, dll. Di dalamnya terdapat pohon dimana kakatua sering hinggap. Pohon berdiameter besar seperti pohon Matoa, Belo Hitam, Halu, Meranti, Hatawu, dan Durian adalah tempat favorit bagi kakatua. Selain itu terdapat pula kategori semai (Silalae, Rinja, Pala hutan, Kotesi, Auwo, dan Sila), pancang (Belo, Inaile, Hotu, Huhu, Maro) dan tiang  (Pala hutan, Jambu Hutan, Para, Oilahu, Cokelat). Rute pengamatan selalu berbeda-beda tiap pengamatan. Sesekali kita memasuki hutan melewati kebun warga seperti kebun cokelat, durian, nanas  dan cengkeh. Bulan sekitar Juli – Agustus adalah musim cengkih. Tidak heran jika di jalanan kampung seperti di Masihulan terhampar cengkih yang sedang dijemur.
                Pengejaran kelebatan putih Kakatua Seram tidak hanya di hutan sekitar PRS Masihulan. Pengamatan terjauh berada di platform milik PRS. Platform pengamatan burung 4x4 meter berupa bangunan kayu yang dibangun di pohon setinggi 35 meter itu  berada di tengah hutan Wai Putea. Hutan yang dialiri sungai-sungai kecil yang jernih ini ditumbuhi jenis tumbuhan. Untuk menaiki platform tersebut digunakan alat-alat Single Rope Technique. Tali semi statis yang menjuntai sepanjang 35 meter itu sebagai pengantar yang akan menaiki platform. Bisa naik sendiri menggunakan teknik SRT ataupun ditarik oleh staf PRS saja. Pengamatan burung Kakatua Seram di atas platform tersebut dilakukan pagi hari. Pemandangan hutan perbukitan Wai Putea terhampar hijau kekuningan.
                 Kicauan burung perkici, nuri, dan Bayan turut meramaikan. Burung-burung yang memiliki warna mencolok itu terbang melintas dengan sangat cepat dan seketika menghilang lagi. Kita mendapati terdapat burung bayan yang hinggap di cabang pohon di platform. Ada pula dua ekor burung pombo hijau yang bertengger di cabang pohon kering dan tampak menikmati hangatnya matahari pagi. Tidak lama kemudian terdengar suara parau dari jauh dan lama-lama suara semakin keras. Burung Kakatua Seram melintas dan hinggap di cabang pohon dekat platform. Terdapat dua ekor berjajar dan diam selama sekitar 10 menit. Selama dua kali pengamatan di platform berketinggian 35 meter itu tercatat terdapat dua ekor kakatua Seram. Memang jumlah ini terhitung sedikit karena pada saat pengamatan cuaca sedang mendung sehingga mereka jarang keluar
                Peningkatan jumlah Kakatua Seram tidak lepas dari peran serta masyarakat, khususnya warga dusun Masihulan. Pak Julius kepala dusun yang juga merupakan ayah dari Om Buce mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat dusun Masihulan bekerja di hutan untuk  mengambil hasil hutan seperti sagu sebagai makanan pokok. Selain itu sampai sekarang sering pula sekitar 2 minggu sekali warga berburu rusa atau babi hutan berbekal tombak beracun dengan bantuan anjing peliharaannya. Beliau mengatakan dulu beberapa warga sekitar merupakan penangkap burung. Saat itu mereka menangkap burung di hutan dengan alat yang sangat minim. Berbekal benang senar, terciptalah jerat burung yang dipasang di cabang pohon tertinggi dan dapat menjerat ratusan burung perkici dan belasan Kakatua Seram. Kegiatan ini berlangsung dari dulu namun telah berhenti dengan kehadiran PRS Masihulan.  Burung tersebut lantas dijual dengan harga yang sangat murah sekitar Rp 30.000,oo. Bahkan penangkapan burung ini dijadikan profesi bagi mereka saat itu meskipun kesejateraan belum tercapai.
                Melihat Seram Utara tidak lepas dari desa-desa di sekitarnya yang merupakan lintasan bagi burung Kakatua Seram. Dusun Masihulan yang dulunya merupakan desa yang sering berpindah- pindah tempat akhirnya menetap juga di kawasan sebelum desa Sawai. Masihulan artinya sisir bulan. Nama ini berasal dari sejarah asal usul Dusun Masihulan. Berawal dari seorang putri cantik dan kaya yang akan datang ke pesta di tengah Desa. Putri itu menggunakan perhiasan mulai dari kalung, gelang, dan serba emas. Sayangnya Putri tersebut telat datang ke pesta. Entah mengapa pemuda desa marah dengan keterlambatan sang putri. Mereka pun menghampiri putri malang itu dan merampas harta benda miliknya Dusun Masihulan yang warganya beragama Nasrani ini memiliki keunikan bahwa sebagian besar warganya merupakan satu saudara dengan silsilah yang sedikit rumit. Namun mereka hidup berdampingan secara harmonis.
                Dusun Masihulan tidak lepas dari adat dan budaya yang khas timur Indonesia. Masyarakat yang ramah di dusun kecil ini dengan gembira mempersembahkan sebuah tarian Cakalele untuk  kami. Uniknya persembahan tarian Cakalele dari dusun Masihulan ini dibawakan oleh 5 bocah cilik yang menandakan patasiwa, satu penabuh tifa, dan pelatih mereka. Berbekal kain merah yang diikat di kepala dan di pinggang, lima orang anak tersebut lari memasuki arena sambil berputar putar. Terlihat coreng moreng hitam di muka dan dada mereka yang menambah karakter garang seorang penari cakalele. Kalung dari biji koti-koti menjuntai di badan mereka. Tarian pun dimulai ditandai dengan tabuhan tifa dan suara nyanyian Om Sem. Pedang dan perisai kayu diayunkan layaknya gerakan perang. Atraksi tarian cakalele ini berlangsung sekitar kurang lebih 10 menit.
                Ekspedisi Manusela ini tidak hanya mengkaji mengenai keberadaan Kakatua Seram saja. Tim ekspedisi juga mengkaji mengenai potensi wisata yang berada di sekitar daerah jelajah Kakatua Seram. Desa Sawai yang berjarak sekitar 3 km dari dusun Masihulan merupakan daerah yang memiliki sejuta pesona yang belum terjamah oleh banyak orang. Sawai yang memiliki keindahan laut tersebut memiliki warga yang beragama muslim berbeda dengan Masihulan yang beragama Nasrani. Namun kedua desa tersebut hidup berdampingan secara harmonis. Bahkan saat pecahnya kerusuhan di Ambon, seluruh pulau Seram terkena imbas dari kerusuhan tersebut dengan terjadi kerusuhan pula seperti di Ambon. Ajaibnya desa Sawai dan Masihulan tetap tentram dan tidak terpengaruh terhadap kerusuhan tersebut. Hal ini karena masyarakat di Sawai dan Masihulan memiliki kesadaran akan perdamaian yang sangat tinggi.
                Saat berjalan menuju desa Sawai di bawah terik matahari, mulai tercium bau laut yang sangat khas. Setelah berjalan beberapa langkah terlihat hamparan laut biru yang sangat indah dengan pemukiman berupa rumah terapung di pinggirnya. Tim memasuki perkampungan Sawai dan disambut senyuman ramah dari para warga hingga akhirnya tiba di penginapan milik pak Ali yang merupakan orang terpandang di Sawai. Di penginapan pak Ali kita dapat melihat air laut yang hijau kebiruan dan sangat jernih dimana di dalamnya terdapat terumbu karang yang sangat indah. Tim mencoba untuk bersnorkling melihat hamparan hardcoral dan softcoral di perairan Sawai. Itu merupakan sebagian kecil dari potensi terumbu karang di Sawai.
                Sekitar 1 km dengan menggunakan ketinting dari pemukiman pak Ali kita dapat memasuki perairan yang memiliki terumbu karang yang jauh lebih indah. Hamparan terumbu karang berwarna warni sangat indah di dalam perairan yang hangat itu. Laut ini lebih pantas disebut sebagai kolam renang raksasa karena sangat tenang dan menyejukkan. Ikan-ikan kecil berseliweran dan tidak takut kepada kami. Ada pula ikan yang bergerombol hingga ratusan dan berenang dengan gerakan yang sangat kompak. Terlihat seekor ubur-ubur yang sangat kenyal dan berwarna transparan berenang dengan tenang. Di dasar laut juga terdapat bintang laut yang memiliki berbagai macam warna. Ada yang berwarna hitam, kuning keemasan, dan cokelat. Kita pun bermain sesuka hati di lautan yang di pinggirnya terdapat tebing Manusela yang tajam dan keras.
                Tidak hanya keindahan laut, tebing Manusela yang berada di pinggir lautan menyimpan sejuta potensi goa. Tidak jauh dari lokasi terumbu karang terdapat celah besar dan tinggi yang dapat kita masuki. Air pun juga ikut masuk ke dalam hingga bagian paling pojok dari celah tersebut berpasir. Bau guano atau kotoran kelelawar sangat khas di celah tebing tersebut. Jika kita menengadah ke atas, atas goa tersebut dipenuhi oleh ribuan kelelawar. Selain itu sekitar 2 km dari lokasi celah goa ini terdapat pula goa bawah air. Goa bawah air ini dapat dimasuki dengan cara menyelam dulu sedalam tiga meter dan pada akhirnya tiba di sebuah goa berair. Sangat indah memasuki goa berair tersebut karena sinar matahari dapat masuk dan memantulkan warna hijau air laut ke dalam tebing-tebing goa yang gelap tersebut. Ikan-ikan pun menari di bawah kaki kita seakan menyambut kedatangan kami.
                Tidak hanya menyimpan keindahan laut, Sawai juga memiliki sebuah pulau bernama pulau Nusa Olat yang dapat ditempuh menggunakan perahu motor sekitar 20 menit. Pulau Nusa Olat ini adalah yang sangat kecil bahkan dapat dikelilingi dengan cepat melalui bibir pantainya. Namun pulau dengan luas yang kecil ini memiliki pasir putih dimana dijadikan tempat bertelur penyu. Tim bahkan menemukan lubang tempat telur penyu disimpan oleh induknya dan ada beberapa yang telah menetas. Tidak jauh dari pulau Nusa Olat terdapat sungai yang sangat terkenal di pulau Seram, yaitu sungai Salawai. Sungai Salawai membelah hutan sagu menjadi dua dengan airnya yang sangat hijau. Di sungai Salawai ini pun terdapat habitat buaya. Namun tim tidak bisa mencapai daerah yang terdapat buaya tersebut karena terdapat pohon tumbang yang menghalangi perahu untuk masuk lebih jauh. `
                Semua ini merupakan sangat sedikit dari sejuta kekayaan keindahan yang dimiliki pulau Seram. Mungkin dapat diibaratkan pulau Seram merupakan pulau yang pemalu untuk memamerkan apa yang dimilikinya baik berupa kekayaan burung-burungnya, laut, goa, air terjun, hutan , dan kearifan lokal. Pulau Seram menunggu seseorang yang datang untuk menikmati yang ia punya tanpa mengganggunya. Sekarang Kakatua Seram dapat bernafas lega, terbang tinggi sambil menikmati rumahnya yang sangat indah nan eksotis. Kakatua Seram sudah bebas dan menghabiskan usianya tanpa harus hidup terkekang di dalam sangkar yang membelenggu. Bukan merupakan hal yang mudah untuk membuatnya betah di dalam rumahnya sendiri. Oleh karena itu burung Kakatua Seram sebagai burung endemik harus senantiasa dijaga keberadaannya supaya dapat dijadikan kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri dengan cara menikmatinya di alam bebas, bukan menikmatinya dari sebuah jerat perangkap dalam sangkar.            

Senin, 13 September 2010

Superheroes from a Little Village in North Seram

Aku ketiga dari kanan memakai baju biru muda
     
Daerah bagian Timur Indonesia identik dengan masyarakatnya yang berkulit gelap, kriting, berkumis, dan wajahnya mirip satu sama lain. Terkadang orang-orang kerap menganggap bahwa mereka itu tidak ramah dan kurang welcome dengan pengunjung yang datang ke daerahnya. Namun stereotip itu tidak terbukti dengan pengalamanku bersama teman dari Lawalata IPB saat melakukan Ekspedisi Manusela di daerah pulau Seram bagian Utara, tepatnya di dusun Masihulan.
Dalam ekspedisi kita di Seram Utara ini, kita mengenal seorang staf dari Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS Masihulan) yang bekerja sebagai dokter hewan untuk hewan-hewan yang sedang direhabilitasi di PRS tersebut. Kita sering memanggil dia om Vino. Lewat om Vino ini tim ekspedisi mendapatkan empat orang local guide yang akan mengarahkan kita selama studi. Om Vino mengenalkan kami kepada om Buce, om Sonny, om Piter, dan om Dores. Ada pula yang bernama om Pede yang nantinya menjadi teman kami di Masihulan. Selain itu om Vino juga mengenalkan kepada staf yang lain. Awalnya sangat sulit menghafalkan nama, apalagi wajah mereka sama semua. Berkulit gelap dengan kumis hitam yang tebal. Apalagi dari baju mereka terlihat otot-otot yang sangat kuat. Namun malam hari saat perkenalan tersebut terasa hangat karena ternyata mereka senang sekali bercanda. Beda skali dengan persepsi kita mengenai orang Timur yang temperamen dan menyeramkan. Mereka sama sekali tidak menganggap kami sebagai tamu, melainkan saudara dari jauh yang datang dan ingin belajar bersama mereka.

Bahkan selama kita di sana, kita dibuatkan gelang, kalung, dan busur panah. Aku pun mendapatkan gelang dari om Buce dan om Sonny, dan kalung dari buah gelici dan biji koti-koti buatan om Sonny. sampai sekarang benda itu aku pakai setiap hari. Bahkan kalau kuliah, teman-teman selalu bertanya dapat dari mana gelang dan kalung itu. Aku pun menjawab dengan bangga, " dari orang Maluku, om Sonny dan om Buce".
om Sonny
Om Piter
Om Dores

Om Buce


Ternyata terdapat ikatan darah di masyarakat dusun Masihulan. Kalau ditelusuri silsilah keluarga, mereka itu satu saudara. Hal ini aku sadari saat ayah dari om Dores meninggal dunia. Kata om Vino, yang meninggal itu bukan ayah kandung om Dores melainkan pamannya yang dianggap sebagai ayah. Om Pede yang pandai memasak itu juga menceritakan bahwa ia, om Buce, om Sonny, om Dores, dan om Piter semua adalah saudara. Ia bercerita kalau mereka sejak kecil sudah bermain bersama di hutan, bermain tarsan-tarsanan dan berburu. Dari cerita om Pede, ternyata mereka sudah menjadi jagoan cilik sejak kecil. Pantas saja sekarang dengan umur mereka yang 30an, mereka sudah tidak lagi jagoan melainkan Superhero. Lihat saja om Buce yang ahli di luar kepala tentang semua burung di sana. Om Piter juga yang gila panjat pohon, sampai-sampai saat itu dia menaiki pohon setinggi 35 meter hanya menggunakan akar pohon yang menjuntai. Om Sonny yang dengan lincahnya memasuki hutan berbekal parang. Tidak lupa om Dores yang jika kita studi bersamanya selalu mendapatkan kakatua. Di samping itu ada pula om Pede yang dengan kebaikan hatinya selalu menghibur kita dengan nyanyian dan masakannya yang terkenal lezat.

Di Maluku terkenal dengan minuman keras yang bernama "sopi". Bukan hal yang tabu bagi mereka untuk meminum minuman keras ini. Sopi ini terbuat dari buah enau yang dimasak dan diambil uapnya. Uap itu dikumpulkan dan diproses hingga terkumpul menjadi Sopi. Di pulau Seram, Sopi yang terkenal berasal dari kota Waipia. Orang-orang sana mengakui bahwa sopi ini sangat keras. Bahkan separuh gelas sopi bisa langsung membuat teler. Oleh karena itu mereka sering meminum sopi dengan mencampurkannya ke cocacola, fanta, atau kopi untuk mengurangi kadar kerasnya. Masyarakat, terutama bapak-bapak kerap kali minum sopi saat malam hari setelah letih bekerja dari hutan. Meskipun sopi sangat akrab di sekitar warga Masihulan, mereka sangat menghormati kita sebagai pendatang yang beragama muslim. Mereka tidak menawari kami untuk minum sopi. Kami pun malah ikut senang mendengarkan cerita-cerita lucu mereka tentang sopi.  Suatu malam saat berjalan-jalan di kampung Masihulan yang gelap (karena tidak ada listrik), kami bersama om Buce melewati rumah om Sonny. Om Buce memanggil-manggil om Sonny dengan nada riang. Dari jauh sudah terlihat siluet badan om Sonny yang bersandar di pintu namun terlihat tidak merespon panggilannya. Tiba-tiba datanglah om Sem (guru TK di Masihulan) yang berjalan meliuk-liuk. Saat itu aku berfikir, "ngapain om Sem malem-malem nari cakalele?". Sesaat aku tertawa dan tersadar bahwa ternyata mereka sedang tak sadarkan diri karena minum sopi. Aku pun menertawai mereka ternyata kaya gini ya kalo mereka itu sedang mabuk....hehehehe..


Ga disangka ternyata mereka semua jago menyanyi. Sebenarnya aku sudah tau kalau daerah Timur Indonesia itu gudangnya penyanyi. Tapi aku hampir ga percaya kalau om-om Masihulan ini suaranya keren. Saat itu malam hari, om Buce dan om Pede datang ke tempat kami tidur. Kita bercanda dan bercerita dengan atmosfer kekeluargaan yang hangat sekali. Awalnya kita hanya bercanda memberi tantangan kepada mereka untuk bernyanyi. Pasalnya suara om Pede kan kecil bahkan seperti suara cewek. Begitu pula suara om Buce yang seperti lehernya dicekek setan. Kita berfikir pasti lucu kalau mereka bernyanyi. Tapi siapa disangka saat mereka bernyanyi.. waaaawww.. sumpah bikin merinding. Gila bagus banget menyanyikan lagu "ayah" (ciptaan mereka sendiri) dengan bermain dua suara. Kita dalam hati benar-benar malu sendiri mendapati mereka menang dalam tantangan iseng kita. Kita yang tidak punya basic menyanyi pun diem aja, malu, dan hanya mampu terpesona mendengar suara merdu mereka. skak mat deh.


Saat hari terakhir kita di Masihulan datang pula om Piter , om Sonny, dan om Jemy. Mereka sepertinya ingin menghabiskan malam terakhir kita di Masihulan meskipun kami tau bahwa mereka habis minum sopi. Om Piter matanya merah, om Sonny matanya melihat ke luar (sesaat kita melihat om Sonny nangis =P). Tapi kita melihat usaha mereka untuk terlihat sadar dan normal di depan kami. Kami sangat menghargai itu. Seperti malam sebelumnya, kita bercengkrama sambil bercanda. Malam itu makin bernyawa dengan gitar yang dibawa om Sonny. Kemarin om Sonny sempat bercerita bahwa ia dulunya adalah jawara pop singer di Seram. Ternyata memang terbukti saat dia menyanyi suaranya keren, lembut, melankolis, dan khas maluku. Begitu pula om Piter. Dengan setengah sadar dia tetap memukau kami dengan suaranya yang tinggi itu. Kita? terulang lagi hanya bisa diam, malu, dan terpesona melihat mereka bernyanyi. Tapi sayangnya ya... yang dinyanyiin ama mereka tuh lagu - lagu Maluku yang kita tidak tahu. Entah yang ada "beta", "katong", "ale", , , ,
Lucu lah pokoknya.

Melihat latar belakangnya, mereka dulunya adalah pemburu burung-burung di kawasan Seram. Seperti Kakatua Seram, Perkici, Nuri, Betet, Rangkong, dan burung-burung yang hampir punah. Mereka dulu juga menangkap hewan lucu seperti Kus-kus. Mereka mulai menangkap sejak tingkat SMP dan semakin dewasa mereka semakin ahli bahkan menjual burung hasil tangkapan mereka. Namun sejak adanya PRS Masihulan sebagai tempat rehabilitasi satwa, mereka pun seakan-akan "tobat". Dengan berbekal pengabdian dan kecintaannya terhadap burung, mereka menjadi penyayang burung dan motivator untuk melestarikan satwa-satwa endemik yang hampir punah itu. Hal ini benar-benar membuat peningkatan pesat untuk populasi satwa endemik di sana. Sebagai contoh Burung Kakatua Seram yang saat itu sudah masuk ke status Appendix 4, sekarang sudah mulai stabil. Bahkan om Vino menyebutkan sudah ada 90 ekor Kakatua Seram yang ada di wilayah Seram Utara di antaranya adalah hasil lepasan dari PRS Masihulan. Hal ini tidak lepas dari peran serta om-om Masihulan seperti om Buce, om Dores, Om Piter, om Sonny, om Vino, om Pede, dan om-om lainnya. 

Rasanya rindu banget sama mereka. Di sana tidak ada akses komunikasi. Yang ada hanya telefon satelit di daerah Sawai, 3km dari Masihulan. Itu pun mahal sekali. Sampai sekarang bisa dibilang kita lose contact dengan mereka, kecuali dengan om Vino jika dia masih di Ambon. Entah kapan lagi bakal ketemu lagi dengan om-om yang jagoan itu. 3 tahunkah? 5 tahunkah? 10 tahunkah. who knows? Yang jelas kalo suatu saat aku kesana lagi, sudah pasti terdapat keriput di wajah mereka, rambut putih di kepala mereka, dan perubahan wilayah di Masihulan. Namun kenangan yang mereka persembahkan buat kita bener-bener jadi salah satu memori indah dari semua pengalaman hidupku.

Thanks for Superheroes from a Little Village in North Seram, Masihulan


Aryadventure: Tari Cakalele oleh Bocah Masihulan

Aryadventure: Tari Cakalele oleh Bocah Masihulan: "Dusun Masihulan, Pulau Seram bagian Utara memiliki tari tradisional, Cakalele. Tari Cakalele ini sarat akan kesederhanaan namun memiliki sem..."

Tari Cakalele oleh Bocah Masihulan

Dusun Masihulan, Pulau Seram bagian Utara memiliki tari tradisional, Cakalele. Tari Cakalele ini sarat akan kesederhanaan namun memiliki semangat tinggi dan dibawakan oleh bocah-bocah dusun Masihulan. Tari Cakalele yang berdurasi sekitar 10 menit ini dibawakan lima orang penari, satu orang penabuh tifa, dan satu lagi pembawa lagu dengan bahasa tanah setempat. Penari Cakalele menggunakan atribut kalung yang disilangkan di badan yang terbuat dari biji koti-koti. Mereka membawa pedang buatan dari kayu dan tobelo yaitu sejenis perisai.  



Jumlah lima ini menandakan pata lima. Sesuai dengan sejarahnya, tari Cakalele dipersembahkan sebagai tarian perang untuk menghormati tamu yang datang. Untuk dusun Masihulan sendiri memiliki aturan dalam penampilannya, tari Cakalele harus terdiri atas sembilan orang penari (pata siwa) atau lima orang penari (pata lima).
Anak-anak di dusun Masihulan dididik untuk lebih mencintai budaya di tanah asalnya salah satunya dengan membawakan tari Cakalele

Minggu, 12 September 2010

Feel the Piece of Nature in Gede


                                                                         Anggota tim :
Arya - Ponti
Dafi - Eupeung
Dafid - Sukiman
Alam - Alay
Ryan - Kobokan
Syaibach - BangkeUni - Rasang
Mila - Betet
Yana 1 - Lehi
Yana 2 - Risol
Nurmadiah - Bucil
Mima - Bolor



Perjalanan Mandiri. Bersama teman-teman MPCA Lawalata IPB yang saat itu masi berjumlah 12 orang, kita melaksanakan Perjalanan Mandiri ke gunung Gede.Kalo boleh dikata, Perjalanan Mandiri ini adalah kegiatan wajib yang harus dilakuin sama kita kita yang masih junior di Lawalata IPB.

Pengawasan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) ini cukup ketat. Sebelum pendakian, kita mengurus Simaksi sebagai tiket masuk kawasan TNGGP. Kita sempat singgah juga ke pos pertama dimana ada pengecekan ulang oleh petugas TNGGP. Kita sempet deg-degan juga waktu ditanya ada berapa mie instan yang kita bawa. Pasalnya kita tidak tahu persis ada berapa yang kita bawa. Petugas TNGGP tersebut mengatakan kalau saat sudah turun terdapat jumlah bungkus mie instan yang kurang dari yang telah dibawa sebelumnya, maka pendaki tersebut dapat hukuman untuk mengambil lagi bungkus mie instan yang tertinggal di atas. Yang jelas kita ga mau donk kejadian seperti itu menimpa kita. hoho..


Untuk mendaki ke gunung Gede bisa melewati tiga jalur, yaitu 
1. Jalur Gunung Putri
2. Jalur Cibodas
3. Jalur Selabintana

Kita memilih jalur Gunung Putri sebagai jalur pendakian sedangkan Jalur Cibodas kita pilih saat kita turun nanti. Prediksi waktunya untuk mendaki melewati Gunung Putri hingga tiba di alun-alun Suryakencana akan menghabiskan waktu selama 5 jam. Kita berangkat dari pos pengawasan sekitar pukul 21.00. Dengan mengandalkan lampu senter, kita dapat melihat bahwa awal pendakian melewati area perkebunan hortikultura milik warga. Awal pendakian tidak tanggung-tanggung langsung bermedan menanjak. Dilanjutkan dengan memasuki pepohonan yang semakin jarang. Udara dingin mulai menusuk. Angin juga berhembus cukup kencang dan kering bahkan menimbulkan suara gemuruh. Sempat waktu sedikit istirahat dan duduk tiba-tiba bulu kuduk berdiri karena suara angin tersebut seperti membawa badai dari kejauhan dan seakan-akan mendekat. Kita pun melanjutkan pendakian malam. Dengan berpijak pada akar-akar pohon yang menjalar dan berpegang batang pohon tua yang besar, kita mendaki pelan-pelan tapi pasti. Untungnya saat itu langit cerah dan sinar bulan membantu lampu senter kami untuk menerangi selama perjalanan. Tanah gunung Gede juga kering tidak becek berlumpur seperti gunung Salak. Cuma ya itu, memilih jalur Gunung Putri berarti rela melewati tanjakan-tanjakan yang cukup melelahkan. Semangat anggota tim sangat diperlukan untuk memompa motivasi. Apalagi Bolor, anggota tim MPCA kambuh maag nya. Sesaat minta berhenti untuk istirahat karena benar-benar tidak kuat. Ada pula Betet anggota yang lain terkadang kakinya kambuh sakit. Meskipun fisik terkadang tidak mampu untuk menjangkau waktu, namun semangat untuk maju ke atas tetap ada. Alun-alun Suryakencana tempat istirahat kita sebentar lagi sampai. Dan ternyata benar dengan ditandai area yang lebih lapang dan pohon-pohon besar berkurang tergantikan pohon-pohon kerdil milik Edelweis.
Keputusasaan yang tadinya melanda kini telah tiada. Rasa pegal dan dingin menusuk tulang sekarang menyerang tubuh yang lelah. Kita pun memutuskan istirahat di alun-alun Suryakencana, membangun bivak dari ponco, bikin api, memasak air untuk minuman hangat, dan bersiap untuk tidur. Cewek cowok campur ga peduli. Yang namanya pecinta alam semua saudara, udah ga kepikiran gue cewek dan lo cowok. Uda ga sempet mikir perkara kaya begono. Slamet dan sehat aja uda sukur kok. hehe...


Paginya, bbrrrr... udara dingin banggeeet..
Ini mah gilak, tidur udah empet-empetan satu sama lain, jaket uda dobel-dobel, pake sarung, saling pelukan, tetep aja dinginnya minta ampun. Apalagi angin dari ujung alun-alun sana dengan curangnya menerjang kita yang kedinginan kaya gini. Tapi mau ga mau kita harus bangun, sholat subuh, dan bersiap jalan ke puncak. Pagi itu kita cukup tercengang oleh keindahan panorama alun-alun Suryakencana. Matahari yang mulai naik dan menghangatkan badan membantu memberi cahaya keindahan padang edelweis yang luasnya konon 20 kali lapangan sepak bola. Bagus banget gilak, biar kita waktu kesana lagi ga musim berbunga tapi ga mengurangi keindahan lukisan Ilahi. Saking sakralnya bunga Edelweis di gunung Gede ini ada larangan bagi pendaki dilarang memetik bunga edelweis ini. Cukup mengabadikannya dalam bentuk gambar atau tulisan aja.

Perjalanan ke puncak diprediksi sekitar satu setengah jam dari camp kita. Tim melewati padang edelweis di Alun-alun Suryakencana sekitar dua kilometer. Sejauh mata memandang terlihat padang yang sangat luas. Di sisi kanan dan kiri terdapat punggungan berisi pepohonan nan hijau. Selain itu sepanjang jalan tetap diiringi ribuan pohon bunga edelweis. Untuk Summit Attack, kita harus meninggalkan padang rumput dan memasuki area pepohonan yang lebih rapat. Tanahnya pun cukup berbatu. Pepohonan dan bebatuan tempat kita berpijak juga ditumbuhi oleh lumut hijau yang tebal. Di perjalanan yang menanjak itu jika kita menengok ke belakang terlihat daratan tanah Sunda yang terhampar luas di bawah sana. Tidak seperti mendaki gunung lainnya, selama Summit Attack di gunung Gede tidak terasa lelah karena kita ditemani oleh tumbuhan dan panorama yang indah. Seakan-akan mereka berbisik kepada kita untuk terus semangat menuju puncak.

 


 








Ternyata benar, puncak gunung Gede kita raih. Untuk pertama kalinya aku tiba di puncak Gunung Gede yang memiliki jalur pendakian paling tua ini. Dari puncak dapat terlihat Gunung Pangrango sebagai saudara kembar Gunung Gede, kawah belerang, dan  daratan Jawa Barat. Daerah puncak Gede ini berkerikil dan sangat rawan terperosok ke bawah. Maka tidak heran jika terdapat palang sebagai pagar pembatas gunung ini.

Ahhh... menurutku emang Gunung Gede adalah salah satu gunung dengan panorama yang mantaabs. Ga nyesel cape-cape naik gunung ke Gede. Apalagi saat turun melewati jalur Cibodas terdapat objek-objek yang menarik seperti tanjakan setan, sumber air panas, dan air terjun Cibereum.

Pokoknya bagi yang ngaku adventurer, keindahan alami dari gunung Gede wajib dicoba.